Nama lengkap beliau adalah Kiai Idris bin Kamali bin Abdul Jalil Asy-Syarbuni. Kakeknya, Kiai Abdul Jalil berasal dari Ndoro, Pekalongan. Saat masih muda, kakeknya pergi ke Kedondong salah satu daerah di Cirebon, dan mendirikan pondok di daerah tersebut. Kiai Abdul Jalil dikaruniai dua anak yang bernama Kiai Kamali dan Kiai Harun.
Kiai Kamali berangkat ke Mekkah, dan mukim di tanah suci tersebut. Karena kealimannya terutama dalam bidang ilmu falak, qira’ah, fiqih dan tasawuf, beliau dipercaya mengajar di Masjidil Haram. Sebuah prestasi yang jarang dicapai kaum terpelajar Nusantara yang menuntut ilmu disana. Semua anaknya pun lahir di Mekkah. Salah satu diantara putranya yaitu Kiai Idris.
Setelah kembali ke Indonesia, Kiai Kamali memondokkan salah satu putranya yang bernama Kiai Idris di Pondok Pesantren APIK Kaliwungu, Kendal. Pesantren APIK sendiri diasuh oleh Kiai Irfan yang merupakan sahabat Kiai Kamali sewaktu di Mekkah. Setelah beberapa tahun mondok di Pesantren APIK, Kiai Idris dipercaya menjadi Lurah Pondok Pertama oleh Kiai Irfan pada tahun 1919.
Selanjutnya, setelah menimba ilmu di Pesantren APIK Kaliwungu beberapa tahun sampai menjadi Lurah Pondok. Kemudian Kiai Idris melanjutkan pengembaraan ilmunya di Pesantren Tebuireng Jombang asuhan Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari. Karena kealiman dan kepandaian Kiai Idris, oleh Mbah Hasyim diambil menjadi menantu dengan dinikahkan sama putrinya yaitu Nyai Azzah. Dari pernikahan tersebut, beliau mempunyai anak satu yaitu Gus Abdul Haq. Setelah Nyai Azzah wafat, Kiai Idris tidak menikah lagi dan kembali lagi ke Mekkah tahun 1973 dan pulang ke Indonesia tahun 1981.
Menurut Kiai Said Aqil Siradj yang masih ada hubungan kerabat dengan Kiai Idris. Ibunya Kiai Said adalah sepupu Kiai Idris, yaitu Afifah binti Harun bin Abdul Jalil menceritakan bahwa Kiai Idris mempunyai kelebihan/karomah yang banyak. Konon katanya, kebanyakan orang, terkadang beliau memberi uang hanya dengan ngronggoli (asal ambil saja). Anehnya setiap beliau mengambil pasti nominalnya pas seperti yang dikehendaki. Ketika di Mekkah, Kiai Said Aqil juga menyempatkan diri ikut mengaji kitab Shahih Bukhari dan Ihya’ Ulumiddin ke Kiai Idris. Di Mekkah, Kiai Idris menghabiskan waktunya di Masjidil Haram setiap saat. Kiai Idris ketika di Mekkah tinggal di rumah Syaikh Khatib al-Maduri. Beliau tinggal satu rumah dengan Prof. Dr. Djamaluddin Mirri, Rektor Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dan Dekan Fak. Ushuluddin IAIN Surabaya.
Kiai Idris Ditemui Imam Syafi’i ra.
Banyak cerita unik tentang sosok Kiai Idris, salah satunya di Pesantren Kempek. Suatu ketika ada jin yang mengganggu suasana pondok. Semua panik, tanpa pikir panjang Kiai Said Aqil maju sambil berteriak, “Saya adukan kamu ke Mbah Idris!!!” Mendengar kata-kata saya, jin yang mengganggu itu lari dan tidak berani kembali. Ini terjadi sampai sekarang, kalau nama Kiai Idris disebut maka jin akan takut. Ayah saya, Aqil Siradj, adalah santri Kiai Idris. Ayah saya mengaji kepada Kiai Idris waktu nyantri di Pesantren Kempek. Suatu ketika di saat bulan Ramadhan, Kiai Idris pergi ke Mesir hanya untuk mengkhatamkan kitab al-Umm di samping makam Imam Syafi’i. Ketika kembali ke Mekkah, Kiai Idris cerita tentang hal itu kepada saya, “Kalau bacaan saya salah, dibenarkan oleh Imam Syafi’i”.
Dalam hal ibadah shalat menurut keterangan Kiai Dimyati Rois, Kiai Idris dikenal sangat lama dalam melakukan ibadah shalat. Bila kebiasaan para kiai membaca bacaan ruku’ dan sujud sebanyak 3 atau 10 kali tetapi Kiai Idris membacanya sampai 33 kali. Sehingga terkadang santri-santri yang makmum kepada beliau kecelik (terkecoh). Beliau belum bangun dari ruku’ atau sujud, santri-santri keburu bangun dari ruku’ atau sujudnya.
Kiai Idris adalah sosok yang sederhana dalam hal penampilan, beliau sama sekali tidak terlihat seperti ulama besar yang memakai sorban besar. Beliau hanya memakai imamah (sorban) biasa dan sarung. Tetapi kalau ada orang yang tahu tentang kema’rifatan Kiai Idris, jika beliau berjalan saja, maka orang pasti akan bersalaman dengan beliau meskipun tidak kenal. Banyak sekali ulama Arab, seperti ulama Mekkah, Syiria, Mesir, Palsetina, dll. yang menyalami tangan beliau padahal belum pernah ketemu.
Kiai Idris adalah kiai yang hidupnya dikhidmahkan untuk mengaji kitab, mengajar dan beribadah. Beliau telah banyak membaca berbagai kitab disiplin ilmu yang beraneka ragam. Banyak kitab beliau khatamkan berkali-kali. Saking seringnya mengkhatamkan kitab, seakan-akan beliau hafal isi kitab. Ketika ada santrinya yang membaca kitab kepada beliau, lalu bacaannya salah, maka Kiai Idris tahu kesalahannya, padahal beliau sering kali hanya menyimak bacaan santrinya tanpa melihat kitab. Kelebihan lain, beliau dapat mengetahui jika ada kitab salah cetak.
Kiai Idris mempunyai kebiasaan unik, beliau senang memelihara hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing, bebek dan lain-lain. Kegemaran tersebut bukan untuk mencari kekayaan semata tetapi digunakan untuk sedekah kepada orang lain, kadang kala beliau memberikan susu perahan sapi kepada para ustadz di lingkungan Tebuireng, bahkan ketika cucu gurunya menikah yaitu Gus Dur, Kiai Idris memberikan dengan ikhlas beberapa ekor kambingnya untuk acara walimahan cucu gurunya itu.
Ada cerita yang berkembang dalam lingkungan masyarakat Tebuireng tentang hewan-hewan piaraan Kiai Idris. Umumnya masyakat percaya bahwa bila hewan-hewan piaraan Kiai Idris yang memakan tanaman atau dagangan miliknya maka oleh orang tersebut akan dibiarkan saja hewan-hewan itu untuk memakannya. Dan mereka menganggap bahwa Hewan tersebut akan memberikan berkah tersendiri bagi mereka. Menurut penuturan murid beliau, bahwa Kiai Idris adalah seorang Wali Mastur (wali yang tersembunyi). Allah menutup kewaliaannya dengan keilmuaanya.
Salah satu murid kesayangan beliau yang sekarang menjadi Ulama ternama di Jakarta adalah Kiai Abdul Hayyie Cipete. Sewaktu menjadi santrinya, Kiai Abdul Hayyie yang selalu mencukur rambut beliau, bahkan Kiai Idris melarang Abdul Hayyie untuk pulang ke rumah dan dipenuhi semua kebutuhannya. Sungguh besar perhatian dan cinta beliau kepada murid-muridnya.
Wallahu A’lam
Sumber: Kitab Sirojul Hidayat fi Manaqibi Syaikh Ahmad Ru’yat dan Situs Fiqh Menjawab